Salut Lahat; Membangun Masyarakat dengan Cinta
Tak tebersit sedikitpun kelak ia bakal menjadi pegawai
negeri, apalagi bisa kuliah dan kemudian menjadi sarjana. “Keterampilan saya cuma
bertani, saya ngertinya cuma bertani, tak pernah terpikirkan untuk bisa kuliah,,”
tutur Tusiran, lelaki kelahiran Yogyakarta, 5 Juli 1962 itu mengenang.
Boleh jadi, bisa kuliah bahkan menyelesaikan program sarjana strata 1, bagi Tusiran, terlalu mewah dan tak terjangkau bahkan oleh mimpinya sekalipun. Namun, kakak iparnya yang kebetulan mengelola Pokjar Kikim Timur meminta Tusiran untuk kuliah di Universitas Terbuka.
“Saya ikuti keinginan kakak ipar, saya mengambil D2 PGSD hingga kemudian berlanjut menyelesaikan S1. Sebenarnya merepotkan kuliah karena jarak dari lokasi transmigrasi sekitar 60 kilometer dan harus ditempuh bisa seharian karena infrastruktur masih belum bagus,” kata ayah tiga anak itu.
Jalan takdir akhirnya membawa Tusiran mengelola Pokjar
Kikim Timur pada 2008 berbarengan dengan sang kakak yang meninggal dunia. Saat
itu, cerita kakek empat cucu itu, banyak pihak mendorong –di antaranya adalah
Kandep Pendidikan Kecamatan— agar meneruskan Pokjar yang sebelumnya dikelola
sang kakak.
Karena merasa tak punya bekal yang cukup, ia agak ragu. Namun, kemudian ia tergerak untuk melakukan koordinasi dengan UPBJJ Palembang, termasuk langsung datang ke UT Pusat di Pondok Cabe. “Akhirnya saya memberanikan diri untuk mengolanya,” ujarnya kemudian.
Pada tahun 2008 itu, Pokjar Kikim Timur mengelola 158
mahasiswa. Pada tahun 2010 bertambah 86 mahasiswa dan tahun 2011 bertambah
mahasiswa non pendas sebanyak 77 orang. Pada 2015 mahasiswa yang dikelola sebanyak
38 kelas setara hampir mencapai 1.000 mahasiswa. Saat melakukan TTM, Pokjar
yang dikelolanya menggunakan banyak tempat di antaranya adalah SD Negeri 1, SD
Negeri 2, SD Negeri 3, dan Pondok Pesantren Abdulrohman.
“Tahun ini jumlah mahasiswa aktif sebanyak 580,
sementara yang belum lulus sekitar 1.000-an mahasiswa,” kata Tusiran. Bagi
Tusiran, melaksanakan sosprom di Lahat nyaris tak ada kendala, masyarakat
selalu antusias, apalagi jika dilakukan di sekolah. “Mereka bahkan menyambutnya
dengan suka cita, termasuk jika melakukan sosprom di desa-desa. Kami juga
melakukan survey ke desa-desa untuk memilih calon mahasiswa yang mendapatkan
bea siswa bidikmisi, semua welcome,”
cetusnya.
Yang jadi kendala justru dalam mengubah mindset, terutama mahasiswa program lama. Pola pikirnya, menurutnya, masih pola pikir lama yang ketika ujian berharap bisa dapat jawaban ujian. “Yah, mungkin mereka kuliah di UT cuma berharap dapat ijazah saja. Bagi saya tidak begitu, saya selalu menargetkan lulusan tepat waktu minimal 80 persen lebih mahasiswa harus lulus dengan IPK di atas 3,00, bahkan pernah mencapai 90 persen. Di sini IPK terendah 2,5,” katanya bangga.
Tusiran bilang, Pokjar Kikim Timur telah ‘naik kelas’
menjadi Salut pada November 2019 dengan menempati gedung dengan laboratorium
komputer sebanyak 30 yang dikontrak selama dua tahun di atas tanah 400 meter
persegi dengan bangunan dua lantai 12 X 12 meter. “Insya Allah, pertengahan tahun depan bisa
menempati gedung milik sendiri di atas tanah seluas 614 M2 dengan bangunan 18 X
8 M yang sedang kami bangun. Lab komputernya diperbanyak menjadi 60 komputer,”
katanya.
Kendati dari dua hektar tanah pembagian saat menjadi transmigran dulu telah berkembang menjadi delapan hektar kebun sawit dan enam hektar kebun karet, Tusiran akan tetap terus mengawal keberadaan Salut Lahat. “Satu anak saya menjadi tutor di sini, satu anak lainnya ikut mengelola Salut Lahat ini. UT segalanya bagiku, sumber ilmu, ikut mendewasakan kita,” tuturnya bangga. (Krisman Purwoko)
SALUT semakin mantap dan tetap semangat....selamat buat SALUT LAHAT...👍👍
BalasHapus